Jalan Suriah

“SEMALAM, pukul 01.21, jalan di depan apartemen ini kembali menelan korban. Dua pemuda tewas ditusuk pisau kasap. Uff….“

Suara Kemal Argon berat. Tatapannya gamang. Dia tak bisa lagi memendam khawatir karena kejadian itu. Tragedi ketiga yang menelan korban nyawa di sepanjang Jalan Basaran. Gusty Ghaffar menatapnya penuh getir. Ia memahami betul apa yang akhir-akhir ini selalu dipikirkan Kemal, orangtua angkatnya, yang sudah empat tahun tinggal bersamanya. Semakin hari Gusty merasakan perubahan drastis di sekitar mahalle tempat mereka tinggal. Cekcok, penjarahan, dan pembunuhan tumpah begitu saja.

“Apa kamu tidak dengar pecahan kaca dan teriakan, oglum?“ “Dengar, amca,“ jawab Gusty singkat.

“Tembakan polisi berkali-kali. Setelah itu, aku tidak bisa tidur.“

Gusty meringis melihat roman muka Kemal yang kian kumal.

“Udara sepertinya segar sekali pagi ini,“ ujar Kemal kemudian.

Kali ini Gusty menangkap sebuah kode. Ia langsung mengangkat nampan berisi caydanlik menuju balkon. Di balkon Kemal biasa membaca koran, memandang burung-burung kenari bergelantungan di ranting kayisi, menyaksikan segelintir orang yang bersiap membuka toko sepanjang Jalan Basaran, dan bercerita kisah-kisah heroik tentang Perang Dunia I.

Tadi malam Gusty sebenarnya melihat kerumunan dan mendengar jerit histeris. Tapi ia sengaja tak berisik, tak ingin Orhan, cucu Kemal yang masih remaja, menyaksikan kekerasan verbal seperti itu terjadi di depan matanya.

Tak selang berapa lama Orhan keluar kamar, bersiap ke sekolah dan berpamitan bahwa dia ingin langsung ke rumah ibunya dari sekolah. Gusty melihat tas gendongnya penuh, tak seperti biasa. Orhan tampak terburu-buru.

Mereka lalu kembali menatap warung kasap yang luluh lantak. Pecahan kaca dan percikan darah belum dibersihkan pagi itu. Sampah plastik dan koran berserakan di sana-sini.

“Bagaimana kalau kamu turun, bawa air dan bersihkan darah itu?“ “Sebentar lagi petugas kebersihan pasti datang.“

Napas Kemal ditarik dalam. Desirannya bergetar di pangkal lehernya. Tangan Kemal kembali meragah gelas teh, lalu ditenggaknya seketika. Teh panas yang menyemburkan asap pada ujung gelas kecil itu ialah cara terbaik untuk menikmati kedahsyatan teh Turki.

Saat Gusty sedang mandi, Kemal turun dan membawa ember berisi air. “Aku mendengar cerita tentang kematian dan darah cukup dari Ayah saja.Setelah ini aku tidak ingin menyaksikan darah lagi.“

Suara samar-samar Kemal menyesap bersama air yang dituang menghapus percikan darah di lantai warung kasap.

Apartemen tua tiga lantai itu dihuni tiga orang: Kemal, Gusty, dan Orhan. Apartemen warisan dari sang ayah, seorang pahlawan perang kemerdekaan ketika menghadang pasukan sekutu Prancis yang hendak menyerang Konstantinopel di selat Canakkale.Kemal tak mau pindah dan meninggalkan rumah itu selain maut yang memisahkannya. Sebab, ayahnya juga meninggal di situ.

Kemal merasa beruntung hidup bersama Gusty. Anak-anak Kemal juga percaya penuh dan menganggapnya sebagai anggota keluarganya sendiri. Dua anak laki-lakinya menjadi angkatan bersenjata yang langsung direkrut setelah tugas wajib militer di Kars. Yang perempuan, Merve Argon, dosen di Universitas Selcuk yang sekaligus dosen Gusty.Hanya Merve dan tiga anaknya yang paling sering berkunjung ke apartemen itu. Bahkan Orhan bersedia tinggal di sana karena permintaan Merve, meski kadang dia balik ke rumahnya yang hanya berjarak 5 km.

Jalan di depan apartemen itu hari-hari terakhir mulai dikenal dengan nama Jalan Suriah. Sejak banyak pengungsi Suriah datang ke Turki dan memilih Konya sebagai tempat mengadu nasib, mereka menyewa rumah di sekitar Huzur Mahallesi. Pelan tapi pasti, Jalan Basaran telah menjelma Jalan (Orang-Orang) Suriah. Dia hanya hidup dari sore hingga malam.

Sementara itu, mereka yang nongkrong di Cayevi siang hari dari pukul 12.00-15.00 adalah penduduk setempat; para pensiunan atau lansia yang anakanaknya sukses di perantauan; sekadar sohbet, berdebat tentang politik, menunggu nasib di tabung piyango, menggunjingkan Ayse, pelacur berusia kepala empat, tapi masih laris manis, atau melepas penat dan mereguk udara di sepanjang jalan kenangan itu.

Suatu siang Kemal menyusuri Jalan Suriah. Di Mevlana Cayevi, rumah teh favorit di Jalan Basaran, Kemal mendengar suara Murat dan Serdar meninggi.Sambil terus melangkah, Kemal mencermati obrolan mereka.

“Bagaimana kalau kita habisi mereka satu per satu?“ “Jangan balas dendam.“

“Bukan balas dendam. Agar sadar di mana mereka berpijak.“

“Hukum negara pasti ditegakkan.“

“Bicara dengan kamu tak panas-panas juga, Serdar.“

Muka Murat mendadak merah.

“Saya juga dengar kalau mereka sudah pakai Ayse.Bahkan yang muda-muda juga buka-bukaan main dengan oruspu di sini. Kita habis. Amina koydum!“ Petang harinya setelah salat magrib, Kemal kembali menyusuri Jalan Suriah yang ramai oleh para penjual roti, lapak sayuran, warung makan, dan kafe nargile.Matanya gamang di tengah keramaian itu. Di telinganya suara-suara asing yang tak pernah didengarnya bertubrukan menghimpit kenangan masa kecilnya yang senyap. Kemal tak paham bahasa mereka. Teriakan anak-anak muda, aroma rokok, nargile dan meyan koku berhamburan di mana-mana. Di malam hari Jalan Suriah telah menghapus identitas Jalan Basaran yang semayam dalam kenangannya. Kemal seperti mengunjungi dunia yang sangat berbeda. Aroma tanah, baju-baju murah yang digelar di atas batu-batu kapur dengan paving tak rapi, sapaan akrab para tetangga, tawaran undian piyango, bel tukang sepeda, suara tukang sol sepatu, dan pekikan panjang penjual Boza yang pasti dijumpai setiap melewati jalan itu selama lebih 70 tahun, kini sudah lenyap.

Malam itu, di jalan kenangan masa kecilnya, Kemal menyaksikan sebuah pengalaman aneh. Mereka yang lalu lalang di depan matanya seperti segerombolan hantu yang terus menghapus kenangan masa lalunya. Menyaksikan keramaian-keramaian yang aneh itu, Kemal mendadak pusing. Dia tertunduk sejenak, mengambil tempat duduk di samping jalan yang biasanya ditempati Galip untuk buka lapak sol sepatu. Mata mereka menatap Kemal dengan aneh.Kemal membalas pandangan mereka dengan senyum seadanya.

“Teh?“ tanya Kemal.
Dari dalam kafe serentak menjawab: “Tak ada teh.Nargile, atau meyan koku ada.“
Kemal masih duduk, menenangkan pikirannya.Sebagian dari mereka menunjukkan arah: “di sana sepertinya ada teh.“ Kemal diam dan membalasnya dengan anggukan. Kemal hafal betul Mevlana Cayevi yang mereka tunjuk sudah tutup sebelum pukul 17.00.
“Ada yang bisa bicara Turki?“ tanya Kemal kemudian.
“Cuma sedikit,“ jawab salah satu dari mereka.
Anak-anak muda itu kembali mengobrol dengan bahasa Arab pasaran. Kemal dibiarkan diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak selang beberapa lama, Kemal berdiri dan beranjak pulang. Di rumah tak ada siapa-siapa, tapi di ruang salon teh hangat sudah siap. Sezen, seorang janda yang dibayar khusus untuk bikin teh, bersih-bersih dan membereskan cucian, baru saja sudah menyiapkan teh untuk Kemal. Dengan teh panas, Kemal kembali memandangi jalanan itu. Dari jendela apartemen keramaian Jalan Suriah mengingatkan Kemal pada malam kudeta militer 12 September 1980. Malam mengerikan, ribuan rakyat Turki dihukum gantung, termasuk pamannya sendiri! Dalam bulan-bulan terakhir, hari-hari buram penuh amarah membekap Kemal. Ada kabar beredar bahwa penduduk lokal akan balas dendam. Suasana malam di Jalan Suriah makin mengkhawatirkan. Hubungan penduduk lokal dengan pendatang Suriah sudah hancur. Mereka menyimpan rasa awas dan amarah masing-masing.
Dalam situasi seperti itu, wajah Kemal semakin muram. Dia mulai banyak bungkam, hanya mampu menatap jalan itu dari jendela. Orhan belum kembali juga. Gusty tak berani bertanya banyak hal kepadanya. Kemarin Merve cerita ke Gusty kalau Orhan ketakutan tinggal di apartemen bersama kakeknya. Merve minggu ini berencana akan membujuk Kemal agar tinggal bersamanya di Meram. Gusty sangat setuju usulan Ibu Merve. Ia tak ingin melihat Kemal terus susut dalam kesedihan dan amarah.
Pada tengah malam dua hari setelahnya, keributan besar kembali terjadi. Tembakan peringatan polisi tak diindahkan lagi. Satu kelompok pemuda Turki tiba-tiba datang dan menyerang orang-orang Suriah dengan membabi buta. Kemal tak tahan menatap keributan itu. Dia turun dengan membawa tas kulit yang diambil dari laci lemari besi. Sebelum membuka pintu luar, Kemal bergumam dalam hatinya, “Ayah, ini warisan dan wasiat terakhir yang harus kutunjukkan demi merawat kemerdekaan negeri yang kau perjuangkan dengan darah.“ Satu langkah tepat di depan pintu Kemal langsung memberondongkan sisa peluru AK-47 ke gerombolan orang-orang Suriah. Dia tak pernah tahu ada berapa biji pelor di situ. Yang terlihat di mata Kemal adalah muncratan darah di warung kasap yang beberapa bulan sebelumnya dia lihat untuk terakhir kalinya.
Peluru habis, sebuah hantaman tajam menghujam perutnya. Kemal terkapar! 
Konya, musim gugur, 2015 
Bernando J Sujibto, penulis kelahiran Sumenep, Jatim. Kini sedang studi pascasarjana di Turki.

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Bernando J Sujibto
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 20 Desember 2015