Bus yang Melaju Membawa Rindu

KETIKA bus merayap keluar dari terminal, jarum jam yang menggantung di atas kaca depan menunjuk angka delapan. Delapan jam aku baru akan dapat menuntaskan rindu di kota yang kutuju. Rindu yang berulang, rindu yang hampir membatu.
Di antara deram mesin dan pekik klakson di tengah padatnya jalan raya, bibir sopir samar-samar menyenandungkan Tembang Kasono—nyanyian rindu. Dari spion di atas kaca depan, wajah sang sopir tampak bersih dan bersinar. Rambut dan kumisnya berhiaskan garis-garis putih. Tapi mata dan bibirnya terus tersenyum. Tembang kasono— kepada siapa ia merindu? Ah, tentu kepada istrinya.
Ia pastilah bukan sopir bus malam dalam ceritacerita rekaan: lelaki yang hatinya mudah singgah di perempuan lain di mana pun bus singgah. Boleh jadi ia berangkat dari rumah berbekal peluk, cium, doa, dan cinta sang istri. Mungkin istrinya wanita cantik dan setia dalam usia pernikahan yang sudah belasan. Setia menunggu sang suami datang dari perjalanan sehari-semalam.
Sekali bertugas, sopir akan berada di jalan raya setidaknya enam belas jam, ditambah tiga atau empat jam tidur di kota tujuan sebelum kembali ke kota asal. Itu sebabnya sopir tidak boleh membawa bus dua kali berturut-turut.
Jika benar ia merindukan sang istri, hati para penumpang tenang dan tenteram karena yakin sopir akan menjalankan bus dengan hati-hati, dengan kecepatan sedang dan tidak ugal-ugalan.
*
Aku duduk di baris kedua dari depan di deret kanan. Aku tidak suka duduk di baris paling depan karena cahaya lampu mobilmobil dari arah berlawanan selalu mengganggu penglihatan. Aku ingin tidur pulas di perjalanan, dan turun dalam kondisi badan segar sesampai di tujuan.
Di sebelahku, duduk merapat jendela seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun. Ah, bisa saja baru 40 atau justru sudah 60 tahun. Cahaya remang selalu menabiri usia sebenarnya. Ia tampak sudah terlelap sebelum bus benar-benar meninggalkan keramaian lalu lintas kota. Kepalanya menyandar ke belakang dan mulutnya terbuka.
Mungkin ia sama denganku: naik bus dengan tujuan menuntaskan rindu. Bisa saja ia bekerja di pabrik atau berjualan bakso, menyusuri gang-gang kota dengan dorongannya, lalu pulang seminggu, dua minggu, atau sebulan sekali karena istri dan anak-anaknya tinggal jauh di luar kota. Tiap pulang ia membawa segepok uang dan sekeranjang rindu.
Di jok di depanku duduk sepasang lelaki dan perempuan, dengan seorang bocah diapit di tengah.
Tak banyak yang mereka percakapkan, selain bahwa mereka hendak menuju kota yang sama denganku setelah seminggu menikmati liburan si bocah di kota. “Aku sudah kangen teman-teman,” kata si bocah.
Selengkapnya sila baca di id.klipingsastra.com ini.