Amplop Ustad Manfaat

USTAD Manfaat memarkir sepeda motornya dengan hatihati di samping rumahnya. Ia bercucuran keringat. Mungkin lebih satu kilometer ia mendorong motor itu karena bannya bocor. Tak mungkin lagi mencari tukang tambal ban malam itu.
“Syukurlah, akhirnya sampai juga.”
“Bocor lagi ya, Pak?” sambut istrinya dengan guratan wajah cemas di bawah remang lampu teras.
Ustad tersenyum seraya menyodorkan lipatan amplop putih pada istrinya.
Cepat istrinya menyelipkan amplop itu ke balik kutangnya sambil melangkah masuk kamar. Di ruang tengah, putrinya Fatimah sedang belajar dengan temannya Fira yang sengaja diundang menginap di rumah. Fatimah dan Fira sedang bersiap menghadapi ujian semester.
“Amplop apa ini, Pak?” Ustad Manfaat mendekat, lalu terbelalak karena ternyata isi amplop itu hanya selembar kertas surat dari kelurahan berupa seruan gotong royong membersihkan lingkungan.
“Pengurus masjid pasti keliru,” rutap Ustad Manfaat dengan napas sesak sambil tersandar di satu-satunya kursi sofa di kamar itu. Wajahnya yang tadi cerah kini berubah. Dipandanginya istrinya dengan rasa sesal.
“Maafkan aku, Fah. Ini ujian Tuhan.” Mulut istrinya terkatup rapat. Berlalu ke luar kamar menyiapkan makan malam untuk suaminya yang tentu sudah lapar.
*
Seperti biasanya, minggu pertama awal bulan adalah giliran Ustad Manfaat sebagai penceramah agama selepas magrib di Masjid Al-Mannar. Masjid ini cukup besar dan makmur. Honor penceramahnya juga cukup besar menurut pengalaman Ustad Manfaat. Tapi, itulah kejadiannya; ketika Ustad bersiap hendak pulang, biasanya pengurus mendekatinya, lalu bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tapi kali ini tidak, entah lupa entah disengaja, salaman pengurus itu cuma salam biasa. Bukan salam tempel yang ada amplopnya.
Ustad Manfaat berpikir cerdas, langsung bergegas ke parkiran motor tak jauh dari teras. Berdiri agak lama di sana, lalu kembali ke beranda masjid, pura-pura lupa di mana tadi helm ditaruhnya. Ia berharap terlihat oleh pengurus.
“Eh, Ustad? Untung belum pergi. Maaf, ini amplopnya,” kata pengurus tergesa sambil menyerahkan selipat amplop putih.
“Terima kasih. Saya lupa helm saya tadi saya taruh di mana ya? Oh, itu dia. Terima kasih Pak Pengurus,” ujar Ustad Manfaat sambil memurukkan amplop itu ke dalam kantong kemeja batiknya.
“Yes,” ujarnya dalam hati.
Tapi, begitu dia naik motor bututnya, jalan terasa bergelombang. “Wah, bocor lagi,” rutap Ustad Manfaat. Dikendarainya juga perlahan-lahan sambil terus berdoa agar sampai ke rumah dengan selamat. Ustad Manfaat mengambil jalan paling kiri. Begitulah, tinggal sekitar sekilo lagi, ban belakang motornya benar-benar kempes. Tak ada jalan lain selain mendorongnya hingga sampai ke rumah.
*
Ustad Manfaat, lelaki 56 tahun itu baru sepuluh tahun belakangan tak sengaja menjadi dai. Jauh sebelumnya, Manfaat yang lulusan PGA itu guru agama hoorer di sebuah sekolah menengah negeri. Setelah bertahun-tahun mengajar, Manfaat cuma dapat janji akan diangkat menjadi guru PNS oleh kepala sekolah. Sementara guru honorer yang masuk belakangan yang konon punya hubungan famili dengan kepala sekolah sudah diangkat menjadi PNS. Akhirnya, setelah usianya 40 tahun, kesempatan menjadi PNS sudah tenggelam ke dasar laut paling dalam. Sejak itu, Manfaat pindah ke sekolah swasta, lalu menjadi pegawai tata usaha di sana.
 
Baca selengkapnya di sini: id.klipingsastra.com